Segala puji dan syukur kita ucapkan pada Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Selawat dan salam buat nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah menjelaskan tauhid dengan segala sendi dan cabang-cabangnya serta hal-hal yang membatalkannya.
Pada kesempatan kali ini kita ingin membahas tentang hal yang dominan dalam menyebabkan timbulnya kesyirikan di tengah-tengah umat manusia. Yaitu pengkultusan terhadap kuburan nenek moyang dan orang shaleh.
Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu ketika menafsirkan firman Allah,
{وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آَلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا} [نوح/23]
“Dan mereka berkata, “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa’, yaghuts, ya’uq dan nasr.“ (QS. Nuh: 23).
“Ini adalah nama orang-orang shaleh dari kaum nabi Nuh ‘alaihisallam. Tatkala mereka meninggal, setan mewahyukan kepada kaum mereka untuk membuat patung ditempat-tempat duduk mereka, lalu mereka menamai dengan nama-nama mereka. Maka kaum mereka melakukannya, dan ketika itu masih belum disembah. Sampai suatu ketika mereka (orang-orang yang melakukan hal tesebut) meninggal dan terhapuslah ilmu lalu dijadikanlah patung-patung itu untuk disembah[1].”
Diantara sebab-sebab yang membawa kepada pengkultusan kuburan
- Meninggikan kuburan melebihi dari satu jengkal.
Sebagian kaum muslimin saat penguburan mayat meninggikannya melebihi dari hal yang dibolehkan oleh agama. Hal ini mungkin karena belum mengerti tentang tuntunan agama mereka atau karena ada unsur lain seperti ingin menunjukkan bahwa orang tersebut seorang yang mulia.
عَنْ أَبِى الْهَيَّاجِ الأَسَدِىِّ قَالَ قَالَ لِى عَلِىُّ بْنُ أَبِى طَالِبٍ أَلاَّ أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِى عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ لاَ تَدَعَ تِمْثَالاً إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ.رواه مسلم.
“Dari Abu Hayyaaj Al Asady, ia berkata, berkata kepadaku Ali Bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu, ‘Maukah engkau aku utus untuk melakukan sesuatu yang aku juga diutus oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukannya? Jangan engkau tinggalkan sebuah patung melainkan engkau hancurkan. Dan tidak pula kuburan yang ditinggikan kecuali engkau datarkan.`”
عن ثُمَامَةَ بْنَ شُفَىٍّ قَالَ كُنَّا مَعَ فَضَالَةَ بْنِ عُبَيْدٍ بِأَرْضِ الرُّومِ بِرُودِسَ فَتُوُفِّىَ صَاحِبٌ لَنَا فَأَمَرَ فَضَالَةُ بْنُ عُبَيْدٍ بِقَبْرِهِ فَسُوِّىَ ثُمَّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَأْمُرُ بِتَسْوِيَتِهَا. رواه مسلم.
‘Dari Tsumamah bin Syufai, ia berkata, aku pernah bersama Fudhaalah bin ‘Ubaid di negri Romawi “Barudis”. Lalu meninggal salah seorang teman kami. Maka Fudhaalah menyuruh untuk mendatarkan kuburannya. Kemudian ia berkata, aku mendengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh untuk mendatarkannya.’”
- Menembok dan mencat kuburan.
Diantara kebiasan buruk yang bisa membawa kepada sikap pengkultusan kuburan adalah menembok dan mencat kuburan. Disamping hal tersebut diharamkan dalam agama, termasuk pula membuang harta kepada sesuatu yang tidak ada mamfaatnya. Dan yang lebih ditakutkan adalah akan terfitnahnya orang awam dengan kuburan tersebut. Sehingga mereka anggap kuburan tersebut memiliki berkah dan sakti.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang dengan tegas menembok dan mengecat kuburan dalam sabda beliau,
عَنْ جَابِرٍ قَالَ: ((نَهَى رَسُولُ اللَّه صلى الله عليه وسلم أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ)). رواه مسلم.
“Dari Jabir radhiallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mencat kubur, duduk di atasnya dan membangun di atasnya.’“
Yang dimaksud dengan membangun dalam hadits tersebut adalah umum sekalipun hanya berbentuk tembok saja. Apalagi membuatkan rumah untuk kuburan tersebut dengan biaya jutaan rupiah sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang-orang jahil masa sekarang.
Berkata Imam Syafi’i, “Aku melihat para ulama di Makkah menyuruh menghancurkan apa yang dibangun tersebut [2].”
Berkata Al Manawi, “Kebanyakan ulama Syafi’iyah berfatwa tentang wajibnya menghacurkan segala bangunan di Qarofah (tanah pekuburan) sekalipun kubah Imam kita sendiri Syafi’i yang dibangun oleh sebagian penguasa [3].”
- Membangunkan rumah untuk kuburan.
Sebagian orang ada pula yang membangunkan rumah untuk kuburan. Bahkan kadang kala biayanya cukup besar. ini adalah salah satu bentuk pe–mubazir–an dalam penggunaan harta. Mungkin orang yang melakukan hal tersebut berasumsi bahwa si mayat mendapat naungan dan kenyamanan dalam kuburnya. Akan tetapi, sesungguhnya tidak ada yang dapat memberikan kenyamanan dalam kubur kecuali amalan sendiri, walau seindah apapun kuburan seseorang tersebut,
رأى ابن عمر رضي الله عنهما فسطاطا على قبر عبد الرحمن فقال انزعه يا غلام فإنما يظله عمله .
“Ibnu Umar melihat sebuah tenda diatas kubur Abdurrahman. Maka ia berkata, ‘Bukalah tenda tersebut wahai Ghulam (anak muda), maka sesungguhnya yang melindunginya hanyalah amalannya [4].’”
- Duduk dan makan di kuburan.
Bentuk hal lain yang merupakan sebagai jalan untuk membawa kepada pengkultusan kuburan adalah kebiasaan sebagaian orang mendatangi kuburan pada momen-momen tertentu. Seperti mau masuk bulan suci ramadhan, hari lebaran atau setelah panen. Mereka berbondong-bondong kekuburan dengan membawa tikar dan makanan. Lalu sesampai dikuburan membentangkan tikar dan duduk bersama-sama. Dilanjutkan dengan rangkaian acara tahlilan dan doa setelah itu ditutup acara makan bersama. Jika hal tersebut kita timbangan dengan ajaran Islam yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sungguh sangat bertolak belakang sama sekali. Jangankan untuk tahlilan dan makan bersama, duduk saja tidak boleh. Seperti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini,
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ثِيَابَهُ فَتَخْلُصَ إِلَى جِلْدِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ ». رواه مسلم.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Sungguh salah seorang kalian duduk di atas bara api lalu membakar baju sehingga tembus kekulitnya lebih baik daripada ia duduk di atas kuburan.`”
Kiranya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas amat jelas bagi orang hatinya mau menerima nasehat. Adapun orang yang mata hatinya sudah ditutup Allah dari menerima petunjuk, niscaya ia akan berupaya mencari-cari alasan untuk menolaknya.
- Membaca Alquran di kuburan.
Sebahagian orang ada yang berpandangan adanya keutamaan membaca Alquran ketika berziarah kubur seperti membaca Al-Fatihah, surat Al-Ikhlas atau sura Yaasiin, dan lain-lain. Bahkan ada yang menyewa orang lain untuk membaca dan khatam Alquran di kuburan keluarganya pada hari-hari tertentu. Hal tersebut tidak pernah dianjurkan dalam agama ini. Yang dianjurkan ketika berziarah kubur hanyalah membaca doa ziarah kubur. Berbeda dengan orang yang suka melakukan hal-hal yang baik menurut pikiran dan perkiraan mereka semata. Tetapi tidak baik menurut Allah karena hal tersebut melakukan ibadah yang tidak ada dasarnya sama sekali dalam agama. Kalau seandainya hal tersebut baik pastilah Allah memerintahkannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat melakukannya. Apakah kita lebih tahu dari Allah tentang hal yang baik?
{قُلْ أَأَنْتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللَّهُ} [البقرة/140]
“Katakanlah!, ‘Apakah kamu yang lebih tahu atau Allah?`”
Adapun hadits-hadits yang dijadikan pegangan oleh sebagian orang dalam hal ini. Seperti hadits, “Barangsiapa yang mendatangi kuburan lalu membaca surat Yasin. Niscaya Allah akan meringankan azab terhadap mereka pada waktu dan akan menjadikan dengan bilangan hurufnya kebaikan“[5] ini adalah hadits Maudhu’. Demikian pula hadits, “Barangsiapa yang melewati kuburan maka ia membaca surat Al Ikhlas sebelas kali…[6].”
-Bersambung insya Allah-
Penulis: Ustadz Dr. Ali Musri Semjan Putra, M.A.
Artikel www.dzikra.com
[1] Lihat Shahih Bukhari, 4/1873, 4636)
[2] Dinukil Imam Nawawi dalam Syarah Muslim, 7/27.
[3] Lihat Faidhul Qodir, 6/309.
[4] Lihat Shahih Bukhari, 1/457.
[5] Lihat, As Silsilah Adh Dha‘ifah, 3/397 (1246).
[6] Lihat, As Silsilah Adh Dha‘ifah, 3/452 (1290).